BERITA TERBARU

Senin, 17 Oktober 2016

Korban HAM Papua tolak segala kompensasi, minta pelapor khusus PBB turun tangan

 
Mantan tahanan politik dan ketua Advokasi Dan HAM Pegunungan Tengah Papua saat menggelar konferensi pers di Rumah Bina Wouma Wamena

Wamena, BN- Para korban dan juga lima orang mantan tahanan politik Papua khususnya yang berada di wilayah Pegunungan Tengah Papua, menolak segala upaya pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan kompensasi atau bantuan dalam bentuk apapun.

Hal itu ditegaskan mantan tahanan politik, Linus Hiluka bersama keluarga korban maupun korban pelanggaran HAM Papua, Aga Kogoya (kasus Abepura berdarah) dan Pdt. Hosea Murib yang merupakan keluarga korban pelanggaran HAM (insiden pembobolan gudang senjata Kodim 1702/Jayawijaya).
Saat menggelar jumpa pers di Wamena, Jumat (14/10/2016) Linus Hiluka yang didampingi Theo Hesegem selaku Ketua Advokasi HAM se Pegunungan Tengah Papua menjelaskan, lima eks tapol maupun para keluarga dan juga korban pelanggaran HAM sejak tahun 60-an hingga sekarang, tegas menolak segala upaya pemerintah memberikan bantuan atau kompensasi dalam bentuk apapun.

“Sudah sangat jelas bahwa kami sangat menolak segala jenis bantuan dari pemerintah pusat, daerah maupun Komnas HAM yang hingga kini masih terus berupaya memberikan penawaran kepada kami,” kata Linus Hiluka.

Menurutnya, penawaran ini terus dilakukan di tengah adanya upaya pemerintah pusat bahkan Komnas HAM mencari data pelanggaran HAM di Papua sejak tahun 60-an hingga sekarang, namun semua itu dirasakan tidaklah penting.

Pasalnya, jika memang segala pendataan pelanggaran HAM di Papua ingin dilakukan, haruslah pelapor khusus PBB dan tim pencari fakta wilayah Pasifik yang melakukan dan bukan malah Komnas HAM dan pemerintah Republik Indonesia.

“Bagi kami, jika pemerintah Indonesia ingin mencari fakta pelanggaran HAM di Papua itu tidak masuk diakal. Sekarang, jalan satu-satunya jika ingin menyelesaikan masalah HAM di Papua, harganya adalah dengan referendum dan membiarkan Papua merdeka dan bukan tawar menawar makan dan minum,” tegas Linus Hiluka.

Raga Kogoya salah satu korban Abepura berdarah tahun 2000 mengakui, ia menilai keinginan untuk mengusut masalah pelanggaran HAM yaitu Abepura berdarah, pembobolan gudang senjata Kodim 1702/Jayawijaya dan Wasior telah gagal.

“Di Indonesia pengusutan kasus HAM khususnya di Papua sudah gagal, karena semua bisa dibeli dengan uang. Bagi kami para korban sejak tahun 60-an hingga sekarang, kami korban bukan karena budaya, sosial atau ekonomi melainkan korban karena masalah politik khususnya pemisahan dari Indonesia, sehingga pelanggaran HAM banyak terjadi,” kata Raga Kogoya.

“Kalau mau selesaikan masalah HAM Papua, selesaikan dengan politik bukan dengan tawar menawar makan dan minum dan saya mewakili teman-teman saya pada kasus Abepura saya tolak segala macam pendekatan untuk memberikan bantuan,” tegasnya.

Di sisi lain salah satu korban kasus pembobolan gudang senjata Kodim 1702/Jayawijaya tahun 2003, Pdt. Hosea Murib mengakui penolakan terhadap segala macam bentuk bantuan ini, karena dirinya merasa penelitian maupun pencarian data dari Komnas HAM, hingga kini hasilnya tidak ada.

“Kami juga selama ini untuk kasus pembobolan senjata, aktornya belum juga ditemukan sampai sekarang. Kami pun melihat kompensasi yang akan diberikan kepada para korban, hanya melemahkan penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi selama ini,” kata Pdt. Hosea Murib.

Sementara Theo Hesegem selaku Ketua Advokasi HAM se Pegunungan Tengah Papua menjelaskan, saat ini pemerintah pusat melalui Komnas HAM sedang mendata ulang kasus-kasus pelanggaran HAM, dan ia mencoba memediasi para korban untuk mendengar pendapat mereka.

“Ternyata dalam pertemuan saya dan keluarga korban dan juga korban lainnya, mereka menyatakan menolak dengan tegas tidak akan menerima tawaran dalam bentuk apapun,” kata Theo Hesegem.

Dirinya juga mengakui, ketika ditanyakan kembali kepada para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM kenapa hingga tidak bisa menerima tawaran yang diajukan, menurut korban bahwa ada latar belakang politik sehingga tidak bisa diselesaikan hanya dengan cara memberikan kompensasi bantuan.

“Itu suara dan pendapat korban, sehingga kami yang coba memediasi tidak punya hak untuk menawarkan para korban, karena semua itu kembali kepada korban. Kami juga harap, dengan adanya penyataan menolak ini, jangan lagi ada keluarga korban maupun korban-korban lainya terus diganggu hidup mereka,” ungkap Theo Hesegem. (*)

Sumber ; Tabloid JUBI
Share This :

Posting Komentar

 

Top